Film Parasite dibanjiri berbagai penghargaan, termasuk jebol ke ajang Oscar 2020. Film ini mendapatkan penghargaan di kategori, best director, best international film dan best original screenplay di Oscar 2020. Film ini mengangkat berbagai isu sosial masyarakat Korea, salah satunya obsesi pada pendidikan.
Ketika menonton Parasite, penonton tak cuma disuguhi sinematografi film yang apik dan akting para pemainnya yang ciamik. Melalui film itu, penonton juga diajak untuk mengetahui berbagai persoalan yang dialami masyarakat Korea Selatan, salah satunya mengenai kesenjangan sosial dalam akses mendapatkan pendidikan.
Bila traveler ingat, film ini dibuka dengan realita hidup keluarga Kim Ki Taek yang tinggal di sebuah hunian sempit dan kotor. Di sana ia tinggal bersama istri dan kedua anaknya, Kim Ki Woo dan Kim Ki Jung.
Belakangan diketahui bahwa Ki Woo sang anak lelaki punya kecerdasan di atas rata-rata meskipun ia berkali-kali gagal masuk perguruan tinggi. Nasibnya tak beda jauh dengan adik perempuannya, Ki Jung yang gagal masuk sekolah seni.
Ki Woo dan Ki Jung gagal meraih mimpinya masuk universitas ternama karena mereka miskin. Padahal mereka punya kecerdasan yang dibuktikan dengan kesanggupan mereka menjadi guru les privat untuk anak-anak orang kaya.
Sebaliknya, anak-anak orang kaya dari keluarga Park yang mendapatkan pengajaran privat dari Ki Woo dan Ki Jung harus dipaksa orang tua mereka untuk belajar dan mendapatkan pendidikan terbaik. Dalam film itu, kita dapat melihat bagaimana anak perempuan keluarga Park belajar mati-matian dengan bantuan Ki Woo untuk dapat lolos tes bahasa Inggris.
Potret pendidikan dalam film Parasite ini memang senyata-nyatanya ada di Korea Selatan. Setiap tahun, pelajar di Korea Selatan akan menghadapi ujian masuk universitas yang disebut sebagai Suneung atau Tes Kemampuan Akademis Perguruan Tinggi yang bentuknya mirip SAT di Amerika Serikat.
Pada 2018 lalu, tak kurang dari 590 ribu pelajar SMA yang mengikuti ujian ini. Menurut Yonsei News, para pelajar ini harus menyelesaikan ujian selama 9 jam yang meliputi tes geografi Korea, etika dan pemikiran, hukum dan politik, sejarah dunia, dan topik-topik lainnya.
Untuk membuat suasana ujian kondusif, pemerintah sampai membuat kebijakan untuk mengalihkan rute penerbangan agar tidak berisik, aktivitas di bank dan pasar keuangan Korea Selatan dimulai lebih lambat dari biasanya, dan meningkatkan frekuensi perjalanan menggunakan bus dan kereta bawah tanah.
Para pelajar yang ikut ujian ini bersaing untuk mendapatkan skor tertinggi agar dapat masuk ke universitas papan atas di Korea Selatan seperti Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University atau disingkat menjadi SKY. Selain itu, skor tinggi ini akan menjadi bukti kemampuan akademik seseorang bahkan dianggap menjadi tolak ukur kesuksesan negara Korea Selatan di masa depan.
Mengapa orang Korea begitu terobsesi pada pendidikan?
Bila dilihat dari budaya, Korea Selatan dipengaruhi Konfusianisme yang membentuk masyarakat untuk menempatkan sarjana duduk di puncak hierarki sosial dan pencapaian pengetahuan dianggap sebagai prioritas. Oleh sebab itu, orang yang berpendidikan di Korea sangat dihormati.
Selain itu bila dilihat dari sejarah perkembangan negara Korea Selatan, negara ini dulunya adalah negara miskin, terutama setelah meletusnya Perang Korea pada awal 1950-an. Namun mereka bangkit melalui sumber daya manusia yang berpendidikan baik. Saat ini, mereka menjadi salah satu Macan Asia Timur.
"Pendidikan adalah sumber utama mobilitas sosial di Korea selama masa perkembangannya," kata profesor sosiologi dari Stanford University, Shin Gi-Wook sebagaimana diwartakan South Morning China Post (SMCP).
"Orang Korea percaya bahwa tanpa obsesi yang dipimpin oleh negara terhadap pendidikan, Korea Selatan tidak akan dapat mencapai status yang dimilikinya saat ini dalam ekonomi dunia ... Pendidikan adalah inti dari upaya Korea Selatan untuk berhasil," lanjutnya.
Dengan demikian obsesi akan pendidikan ini tak hanya mengakar dalam diri individu belaka tetapi dikonstruksi oleh negara.
Obsesi akan pendidikan itu sudah dibentuk sejak usia dini. Dilansir dari Asian Times, Senin (10/2/2020) para pelajar ini sudah belajar keras selama berjam-jam sejak SD. Sementara itu dikutip dari SMCP, Senin (10/2/2020) para pelajar bahkan sudah mempersiapkan ujian Suneung sejak usia 13 atau 14 tahun.
Pada saat SMA, mereka akan tinggal di sekolah sampai pukul 10 malam setelah pelajaran reguler berakhir. Tak sampai di situ, pada saat akhir pekan, mereka juga tidak libur. Mereka yang punya banyak uang akan mengikuti les privat seperti yang dilakukan anak dari keluarga Park.
Para pelajar ini berharap dengan mendapatkan pendidikan terbaik, mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama seperti Samsung, LG, atau Hyundai . Namun harapan indah itu tak selamanya didapatkan seluruh pelajar. Menurut Shin, budaya belajar ekstrem di Korea Selatan itu justru membuat anak mudanya tidak siap menghadapi dunia nyata.
"Anak-anak muda ini menghabiskan 25 hingga 30 tahun pertama kehidupan mereka untuk belajar ujian, dan ketika mereka akhirnya pindah dari cangkang mereka ke dunia nyata dan menyadari bahwa hidup bukanlah tes pilihan ganda, dan tidak selalu ada tes yang jelas dan jawaban untuk setiap masalah, itu sudah menjadi krisis paruh baya bagi mereka," katanya.
"Belajar ekstrem ini menguras fisik dan secara mental tidak sehat dengan menghabiskan masa muda seseorang untuk belajar untuk ujian dan ujian lagi," tegas Shin.
Senada dengan Shin, profesor sosiologi dari University of California Barkeley, John Lie juga mengatakan. "Belajar sepanjang hari dan sampai malam seperti halnya di Korea Selatan, itu mengerikan bagi anak-anak dan sama sekali tidak fungsional bagi masyarakat, apakah kita peduli dengan produktivitas atau kebahagiaan," ujarnya.
Di tengah tren belajar mati-matian untuk ikut ujian Suneung, ada sekelompok siswa yang melakukan protes di luar Balai Kota Seoul pada 2018 lalu. Mereka protes mengenai ketidakadilan dalam sistem ujian dengan mengatakan, "kami menolak untuk berkompetisi." Papan-papan slogan yang mereka bawa bertuliskan "Universitas bukan pusat segalanya."
Mengenai sejumlah kekurangan dari sistem tes penerimaan perguruan tinggi di Korea Selatan saat ini, Shin memberikan sejumlah saran untuk perbaikan.
"Misalnya, harus ada kriteria penerimaan yang beragam seperti komitmen, kepemimpinan, dan sebagainya," katanya.
"Beberapa sekolah berusaha untuk mereformasi pendekatan mereka untuk penerimaan dan mencoba untuk memasukkan kriteria yang berbeda tetapi masih pada tingkat yang dangkal. Agar universitas dan perusahaan Korea dapat lebih bersaing dengan pesaing global mereka, kita perlu melihat beberapa perubahan positif pada sistem yang kaku saat ini," tutupnya.